Hari kedua ini saya bangun jam 3 dinihari sesuai ritme hari-hari di Indonesia. Berhubung badan masih pegel dan mengantuk, setelah sholat malam lanjut subuh jam 4.50, lanjut lagi tidur sampai jam 7. Bangun sudah segar rasanya badan ini. Kegiatan selanjutnya adalah mandi, kemudian sarapan. Untuk sarapan menunya sangat banyak dan beragam, lebih dari 10 masakan antara lain tumisan, capcai, nasi goring dll, namun karena ragu kehalalannya cari yang paling aman yaitu makan roti tawar dan roti prancis yang bisa olesi selai orange dan strawbery. Plus minum teh, jus jeruk nipis dan pisang. Semuanya enak dan bisa di refill sepuasnya. Tamu kebanyakan dari Asia Timur seperti Korea, Jepang dan Cina. Yang dari Asia Tenggara hanya kami berdua.
Sekitar jam 9 kami mulai jalan meninggalkan hotel menuju pusat kota HCMC/Saigon yang ternyata hanya beberapa langkah sudah sampai di hotel Continental, hotel Caravelle dan Saigon Opera House.

depan-saigon opera, belakang-hotel continental

kondisi jalan dekat kami menginap

Taksi Vinasun
Karena hari minggu, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan seperti festival anak sekolah, pre wedding, ospek siswa baru dan sebagainya. Banyak hotel dan mobil mewah yang berpadu dengan kesederhanaan masyarakat yang kurang mampu. Mirip-mirip di Jakarta. Tetapi istimewanya di sini adalah banyaknya gedung art deco seperti di Bandung yang berdiri megah menjulang yang terawat dengan baik dan masih tetap digunakan, plus banyak taman

hijaunya taman di Saigon
. Perjalanan selanjutnya menyeberang jalan melintasi taman tengah kota di depan City Hall, di sana ada patung Ho Chi Minh-bapak nasional Vietnam yang sedang memangku seorang anak

patung paman Ho
. Di sana cukup banyak tukang ojek motor maupun xeom (becak) yang menawarkan jasanya. Di seberangnya ada REX Hotel yang dikenal sebagai pertahanan terakhir Amerika saat membela Vietnam Selatan melawan Vietnam Utara saat perang Vietnam di tahun 1975 lalu yang kini menjadi pertokoan dan hotel elit di HCMC.

pertahanan terakhir Amerika waktu perang Vietnam
Meski negara komunis seperti Cina, namun aroma kapitalis kembali mencengkeram Vietnam. Produk berbau barat mendominasi pertokoan modern, turis-turis barat juga bebas bersliweran di sini

mall kelas atas
. Tapi ada hal yang membuat kami takjub adalah trotoar yang sangat lebar, rata dan nyaman, semacam Orchard di Singapura, dan orang-orang yang tetap ramah.
Tujuan berikutnya adalah pasar Ben Tanh

pasar Ben Tanh
. Pasar yang menyasar ke turis ini menjual aneka souvenir, pakaian, makanan, sayur, daging, kopi, snack dan bumbu-bumbu khas Vietnam. Semua ada di sini. Tipe jualannya pun beragam, ada yang fixed price (tak bisa ditawar) sampai yang bisa ditawar sampai 50%

dalam pasar Ben Tanh
. Untuk souvenir kaos di bagian fixed price terpampang harga mulai 50 ribu Dong sampai 250 ribu Dong (125 ribu Rupiah). Sekalipun paling mahal rasanya tak sebagus dan selembut kaos Mahanagari di Bandung yang lebih murah (90 ribuan). Perlu mikir agak lama sebelum membelinya. Untuk ibu-ibu ada juga baju kurung Vietnam yang elok dipandang. Oh ya, saking banyaknya wisatawan Malaysia, melihat saya dan istri yang berjilbab, mereka menyapa “ Abang, kakak, mampir, ini baju bagus, baju murah, bisa kurang” ,”Malaysia, Kuala Lumpur, good good good” kami senyum-senyum saja mendengar rayuan mereka, mereka tidak tahu kalau kami dari Indonesia.Ha ha ha…..Sepulang dari Ben Tanh kami mampir ke pusat perbelanjaan Thuong Xa Tax yang menjual aneka barang seperti pakaian, perhiasan, makanan dan ada supermarket yang cukup lengkap. Seperti menjadi kebiasaan di suatu tempat yang baru, kami mencari produk bumbu dan makanan lokal yang ada sertifikat halalnya.

oleh-oleh Vietnam, ada kopi dan enting2 yang enak, saos2 nya kurang enak sehingga kebuang waktu expired
Untuk snack dan bumbu produk Vietnam cukup banyak yang bersertifikat halal, namun untuk jus buah, mi instan, makanan siap santap terpaksa kami membeli produk bersertifikat halal dari Thailand yang cukup banyak di sini. Selain itu ada produk impor dari Malaysia dan Singapura, sedangkan produk Indonesia kami tidak temukan. Harga barang impor di sini lebih mahal daripada di Indonesia, misal buah Kiwi New Zealand di jual 40 ribu Dong (20 ribu Rupiah) per 2 biji, kalau di Indonesia 15 ribu rupiah saja. Namun buah lokal seperti plum, disini harganya 40 ribu Dong untuk 8 biji. Kalau di Indonesia bisa 2 -3 lipatnya. Keluar dari pertokoan kami melintas depan hotel Caravelle, di sana saya tertarik dengan kelapa yang sudah siap dikonsumsi yang dijual ibu2 pedagang keliling pakai pikulan, ketika saya tanya berapa harganya, yang jualan tidak menjawab, langsung memecah kelapa, menyerahkan kelapa, setelah istri mulai meminumnya dia bilang sixty thousand (60 ribu Dong~30 ribu Rupiah). Alamak, kami ditodong. Lain kali hati-hati kalau mau beli di pinggir jalan.
Matahari kian naik ke tengah, langit mulai mendung, kami balik lagi ke hotel untuk istirahat. Jam 2 kami merasa sangat lapar dan bergegas mencari tempat makan halal dekat Masjid Central Saigon. Di sana banyak pilihan antara lain Halal@Saigon, D’Nyonya, Baba. Kali ini kami makan di D’Nyonya Penang, ada bendera Malaysia di depan, namun pembelinya bermacam ragam, ada orang Malaysia, Indonesia, Cina yang kemungkinan besar Muslim semua. Restoran ini menjual aneka makanan Vietnam dan Malaysia. Saya pesan nasi goreng penang

nasi goreng ala singapura yang lengket dengan ayam goreng. lumayan
dan teh tarik

teh tarik dan es jasmine tea
, istri pesan mie khas Vietnam-Pho

pho nya enak
dan teh jasmine. Enak sekali dan porsinya amat sangat banyak, sesuai harganya yang total jendral 220 ribu Dong (110 ribu Rupiah). Recommended buat yang tidak terlalu memikirkan budget. Setelah puas makan minum kami ke Masjid Central (di bangun Muslim India pada tahun 1935) yang ada di sebelahnya. Seperti menemukan oase di tengah gersangnya kehidupan Islam di sini. Di sini pula kami bertemu saudara muslim Champa sebagai takmir masjid dan dari negara lain yang sedang mampir sholat. Posisi masjid ini sangat strategis, persis di samping kiri Hotel Sheraton Saigon dan di tengah kota. Semoga masjid ini tetap bertahan sampai akhir zaman. Amin.

tanda masjid jamek saigon

tempat wudhu, bisa pakai gayung atau bisa juga pakai pancuran kran
Setelah dari masjid kami kembali ke hotel untuk istirahat siang dan berencana melihat Sungai Saigon (Saigon River) sore harinya. Tepat pukul 4 sore kami berangkat ke sungai yang tak jauh dari hotel. Dari hotel yang berada di jalan Ha Bai Trung sebenarnya kalau lurus 400 meter sudah sampai sungai, namun kami memilih memutar melalui Dong Du (lokasi masjid Central)belok ke Khoi Dong Khoi, menyeberang jalan raya baru sampai di pinggir. Sore itu tiba-tiba hujan deras sehingga kami tidak jadi ke pinggir sungai. Karena toko-toko di sini kanopi nya lebar, nyaris tak ada limpasan air hujan mengenai kami yang berteduh dibawahnya. Meski hujan asyik juga memandangi lalu lalang jalan raya. Setengah jam kemudian hujan reda dan kami sepakat ke masjid Central untuk sholat maghrib. Sebelum ke masjid, kami mampir dulu ke toko souvenir Du Du yang banyak dikunjungi turis Jepang. Di sini dijual bermacam produk seperti kaos, tas, ukiran, lukisan, bahkan stempel lucu-lucu juga tersedia. Mengenai harga di sini berlaku beli 5 gratis 1 untuk kaos dengan kualitas kain semacam Dagadu. Harganya 113 ribu Dong/biji. Kami ambil 6 bayar 5 totalnya 666 ribu Dong (300 ribu Rupiah), cukup murah daripada di Ben Tanh yang sangat touristy. Keluar toko, kami melintas Sheraton dan sampai masjid menjelang adzan maghrib-nyaris bersamaan dengan Jakarta (posisi barat timur nya hampir sama). Tiba saat sholat ada 2 shaf terisi penuh dengan jamaah di sini berbagai bangsa, dengan imam berwajah melayu. Sangat fasih dan tartil membaca Al Fatihah, Al Kafirun dan Al Ikhlas. Setelah sholat baca wirid seperti halnya di masjid-masjid di Indonesia. Selanjutnya imam duduk di halaman masjid dan berbincang dengan jamaah. Maghrib itu ada jamaah memberikan sekantung kresek uang-beberapa bundel uang ke imam, dan imam memanggil bendahara masjid untuk menerimanya. Ya, masjid ini sedang dalam rencana renovasi sejak dibangun di tahun 1935 lalu, kesempatan ber infak untuk amal jariyah. Leadership imam masjid dan mungkin sekaligus imam umat Islam di HCMC ini sangat terasa. Dari masjid kami balik ke hotel menaruh belanjaan kami, dan jalan lagi mencari makan malam melewati hotel Caravelle, Saigon Opera House dan masuk ke Parkson Mall. Kami menuju ke lantai 4 dimana ada supermarket dan food court. Di supermarket kami belanja bumbu masakan produk halal Vietnam dan buah segar. Kemudian ke KFC (alternative diantara sulitnya cari makanan halal di sini) beli ayam goring panggang. Sepotong ayam panggang dan sepotong ayam oven yang dibungkus alumunium foil plus lalapan, 2 nasi dan cola dihargai 110 ribu Dong. Karena belum begitu lapar kami pesan paket take away. Keluar dari Parkson dalam rintik hujan kami dibuntuti turis Timur Tengah yang lagi bingung cari makan halal, dia Tanya “Are you Muslim ?” dia Tanya restoran Italia yang halal ada dimana. Susah menjawabnya, terus Tanya di mana masjid terdekat, saya katakan satu blok dari sini ada masjid Central. Dari penampilan dan payung hotel yang dipakainya kelihatannya turis tajir. Oh ya, jalan yang kami lalui tadi adalah Dong Khoi-macam Orchard kalau di Singapura. Dengan kondisi agak basah kena rintik hujan, kami balik ke hotel untuk istirahat, kami coba makan menu KFC tadi, ternyata enak dan juicy teksturnya. Semoga halal. Meski pendapatan per kapita rakyat Vietnam hanya setengah per kapita rakyat Indonesia, namun harga makanan restoran halal seperti harga di hotel berbintang (di atas 50 ribu Rupiah/menu), padahal restoran non halal sekitarnya menawarkan paket lengkap all you can eat untuk harga yang sama. Tampaknya masih ada celah bisnis yang belum terisi, yaitu makanan halal dengan harga menengah (20-35 ribu) seperti harga di KFC. Sedangkan makanan pinggir yang murah dan mengandung babi, kelihatannya hanya dikonsumsi orang Vietnam.

biaya hari ke dua
Menyukai ini:
Suka Memuat...